DIRGAHAYU INDONESIA KE 73

Oleh: Fadhil
Dinegaraku, 17 Agustus 2018

Berhubung saat ini hari kemerdekaan Indonesia yang ke 73, izinkan tulisan ini menenuhi beranda medsos tuan guru masing-masing. Tidak ada pelajaran yang dapat dipetik disetiap barisan kalimatnya, kecuali kalau tuan guru benar- benar belum memahami makna apa yang tersirat dari tulisan yang tersurat "MERDEKA".

73 tahun silam, bertepatan hari Jum'at 17 Agustus 1945 dalam Ramadhan yang ke 9 ditahun 1364 Hijriyah. Tiap jengkal tanah Indonesia menggema teriakan kata merdeka, merdeka, merdeka. Pasca Declaration of Independence Indonesia itu dibacakan lantang Bung Karno, pada detik itu pula Indonesia di akui dunia terbebas dari belenggu para penjajah.

Semua rakyat bersuka cita dan menangis haru menerima kemerdekaannya, air mata tertumpah membahasi seluruh tanah ibu pertiwi. Bahkan saya bisa katakan, berkat air mata merekalah, saat ini jutaan hektar hutan Indonesia bisa tumbuh subur. Karena dulu mereka sirami dengan deraian air mata ketabahan, keikhlasan, perjuangan tanpa lelah dan pengorbanan tanpa balas.

Hampir se-abad sudah kata merdeka selalu terngiang ditelinga saya, tanpa sedikitpun saya mengerti apa sebenarnya yang tersirat dari kata M.E.R.D.E.K.A. Apa hanya kata simbolis yang menunjukan kalau negri ini sudah benar-benar dapat mengatur tubuhnya sendiri, atau bahkan bisa lebih jauh saya katakan, mengatur tubuh untuk menentramkan rohaninya.

Entahlah, kalaulah memang benar negri ini sudah bebas mengatur tubuhnya sendiri, saya rasa tidak ada satu sel syaraf pun yang belum menikmati gizi kemerdekaan. Bahkan Lambung negri ini sudah pasti dipenuhi berliter-liter asupan makanan hasil perjuangan. Tidak hanya sampai disitu, andai semua sudah tercukupi, tidak ada satupun rohani yang tega mendorong tubuhnya mengganas hanya sekedar untuk memperoleh hak-hak yang seharusnya dia miliki.

Namun realita yang saya saksikan sekarang, di setiap 17 Agustus setiap tahunnya, selalu dimeriahkan hampir diseluruh penjuru negri. Tidak tanggung-tanggung, anggaran yang dialokasikan untuk menunjang kemerihan ceremony kemerdekan Indonesia tersebut, dapat menghidupi jutaan rakyat yang hampir lupa dengan bentuk dan warna dari sebutir padi.

Buk rokayah di jember, Hafidin di Banjarnegara, Dwi cahyaningsih di Klaten, merekalah segelintir orang yang terpaksa menimati perihnya tertindas di atas tanah yang katanya sudah merdeka 73 tahun silam. Merekalah yang masih terjajah batinnya melihat orang-orang disekitarnya tertawa riang dengan pakaian-pakaian branded yang dikenakan.

Apa lantaran darah mereka tidak pernah  memerahai tanah ini, lalu mereka tidak berhak menikmati kemerdekaan. Atau karena mereka tidak bisa menyumbang pemikiran buat bangsa ini, lalu mereka dianggap benalu. Tidak! mereka juga rakyat indonesia, dan mereka punya hak untuk ber-upacara di Istana.

Kembalilah kepada merdeka yang sesungguhnya Negriku, tidak hanya sebatas paskibraka yang mengibarkan bendera, tapi lebih jauh dari itu. Merdeka untuk semuanya.

Dirgahayu yang ke 73 Indonesia.

Komentar