Ibu, Izinkan Aku balas dendam

Ibu, izinkan Aku balas dendam
Oleh : Muhammad Fadhil
Dumai, Rabu 11 Juli 2018. Pukul 01.00 WIB


Setiap orang dalam mendiskripsikan harapan berbeda-beda, ada yang
mengatakan harapan itu berupa keinginan dan ada juga yang mengatakan harapan itu
adalah cita-cita. Tidak ada yang salah memang, namun berbeda dengan gadis
pedalaman yang satu ini. Baginya, harapan merupakan bentuk pembalasan akan
kekecawan. Namanya Auri, gadis berumur 17 tahun ini pernah dikecewakan seseorang.
Sehingga memaksanya berada diposisi terendah dalam penderitaan, saat itu hatinya
hancur bak gelas jatuh kelantai, pecah berkeping-keping. Tapi, dia tidak penah
berlelah dalam kondisi itu. Mencoba bangkit dan terus bangkit, kisahnya dimulai
disini. Auri lahir dari kalangan kasta terendah dari suatu peradaban negara saat itu,
tinggal disuatu kampung pedalaman yang sama sekali tidak pernah terjamah oleh
pemerintah setempat. Dari rumah untuk sampai kejalan raya saja harus berjalan kaki
selama 2 jam, karena tidak ada satupun alat transportasi yang bisa masuk. Kecuali
sepeda.
Jalan setapak becek sudah bagian dari langkahnya, saban hari dia harus
masuk hutan keluar hutan hanya untuk bersekolah. Jembatan bambu yang membelah
sungai berarus deras sepajang 20 meter itu, sudah menjadi santapannya hari-hari.
Demi melanjutkan pendidikan, nyawa menjadi taruhan.
“Auri kamu terlambat lagi” kata guru berkumis tipis itu
“Maafkan Saya pak” jawab Auri

Terlambat sekolah sudah menjadi kebiasaan hari-hari Auri. Bukan karena
mauannya, melainkan setiap pagi sebelum berangkat sekolah terlebih dulu dia harus
menjajakan kue ke warung-warung kampung. Sebab, hanya itu satu-satunya mata
pencarian keluarga Auri. Tidak satupun teman Auri yang mengetahui kerjaannya, bahkan guru-guru Auri sekalipun. Alasannya sederhana, karena dia tidak ingin
dikasihani. Menurutnya, mengasihani itu bagian dari bentuk penghinaan kepada
seseorang yang dikasihani.
Kondisi serba sulit tidak menjadikannya malas belajar, justru Auri dikenal
murid yang sangat cerdas, kepintarannya melebihi murid-murid di atasnya. Dia
mampu menyelesaikan soal-soal tingkat atas dengan cepat dan tepat. Semua guru
mengagumi kejeniusan Auri. Waktu itu jam pelajaran, guru berkumis tipis menyuruh satu persatu siswa
maju kedapan. Mereka diminta menyebutkan cita-cita dan harapannya masing- masing. Satu persatu siswa menceritakan dengan penuh ambisi, ada yang ingin
menjadi guru, profesor, pengusaha dan macam-macam.
Tibalah giliran Auri kedepan.
Suatu hari nanti aku berharap, semua orang akan mendapatkan hak yang
sama untuk sehat, mendapatkan hak yang sama untuk disembukan. Tidak
memandang dia miskin atau kaya, dari kalangan terhormat atau terhina. Karena buat
Saya sehat itu hak semua orang, hak semua warga negara. Suatu hari nanti, Saya
ingin menjadi dokter yang tidak mengenal kasta, mengenal harta, mengenal
kepentingan. Saya ingin menjadi dokter yang hanya mengenal prinsip, kalau sehat itu
hak semua orang, mengobati itu kewajiaban semua dokter. Semua siswa bertepuk tengan, disusul guru berkumis tipis itu. Sambil
menyeka air yang mengalir dari balik kacamatanya, dia mengusap dengan lebut
kepala Auri, Sambil berbisik.

“Sungguh mulia harapanmu nak” katanya
Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat, akhirnya hari kelulusan itu tiba.
Semua murid bergembira, riuh tawa menggema diseluruh sudut sekolah. Tahun ini
tidak sutupun murid yang tidak lulus.
“ Auri, setelah ini kamu mau lanjut kemana” tanya perempuan berambut ikal
itu. Sambungnya lagi, “kalau aku disuruh melanjutkan kuliah ke Universitas besar di
ibukota. Akunya sih tidak setuju dengan ibu, karena dari dulu aku ingin sekali kuliah
di universitas daerah. Disitu ada jurusan yang aku sukai, menurutmu gimana Auni. Sambungnya.
Auri hanya senyum, dia tidak tau mau bilang apa. Sejenak dia memandang
kearah perempuan itu seketika menundukan kembali kepalanya. Sebenarmya dalam
lubuk hati yang paling dalam, Auri sangat-sangat ingin melanjutkan pendidikannya.
Tapi apa mau dikata, keterbatasan biaya membuatnya harus mengubur dalam-dalam
keinginan untuk menjadi dokter.
“Aku pulang luan ya” kata Auri kegadis berambut ikal itu.
Baru melangkah sekitar 15 meter dari tempat duduk, tiba-tiba saja terdengar
teriakan kepala sekolah dari depan pintu kantor,
Auri bergegas menuju kantor sekolah.
“Assalamu’alaikum buk” kata Auri “Wa’alaikumsalam” kata Kepala sekolah sambil mempersilahkan duduk
Kepala sekolah lalu mengambil selembar surat dari laci meja kerja dan
menyerahkannya ke Auri
“ini surat apa ya buk” Tanya Auri penasaran

“ Silahkan kamu baca dulu, dan setelah itu berikan keputusan kepada Saya”
jawab ibu kepala sekolah
Usaha tidak pernah membohongi hasil, dalam surat itu tertulis kalau Auri
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah diluar negeri. Sontak Auri terkaget
dan jatuh pingsan, setelah beberapa jam akhirnya Auri siuman. Seakan tidak percaya
dengan isi surat yang dia baca, Auri kembali memastikan dengan bertanya pada
kepala sekolah. “Semua transport, biaya kuliah dan keperluanmu disana akan di tanggung
sampai kamu menyelelesaikan kuliah” kata kepala sekolah meyakinkan.
University Cambridge diInggris merupakan kampus yang membantunya
mewujudkan cita-cita. Tidak butuh waktu lama bagi seorang Auri menyelesaikan
kuliah. Hanya selama 3,5 tahun saja, Auri sudah diwisuda. Bahkan dinobatkan
menjadi Mahasiswi terbaik dengan lulusan cumlaude. Karena prestasi yang dia raih, Auri kembali mendapat beasiswa untuk meneruskan pendidikannya hingga kejenjang
S3.
Hampir 8 tahun mengembara mencari ilmu, Auri memutusakan balik
kenegara asal. Dia diterima kerja dirumah sakit terbesar ibukota. Auri bekerja
dirumah sakit tersebut hanya selama 3 tahun, hingga akhirnya memutuskan berhenti.
Tujuannya bukan karena ingin pindah kerumah sakit yang lebih baik, Melainkan Auri
ingin sekali membuka praktek dikampung asalnya.
Dikampung, tempat prakteknya. Auri sama sekali tidak pernah meminta
bayaran sedikitpun. Setiap pasien yang datang diperlakukan sama, baik yang kaya
maupun yang miskin. Bahkan obat-obatan yang dibutuhkan diberikan secara gratis,
seluruh penduduk kampung sangat terbantu dengan adanya Auri. Mereka tidak perlu
lagi mengeluarkan waktu berjam-jam hanya untuk pergi berobat kerumah sakit.

Hal tersebut sudah berlangsung selama tiga tahun, desas desus Auri yang
senang membantu orang lain sudah menyebar hingga kepenjuru negri. Tak jarang
silih berganti awak media datang menemuinya, dengan tujuan ingin meliput
keseharian dokter berhati malaikat itu. Namun Auri tidak pernah mau diliput, sebab
menurutnya pengabdian yang tulus tidak butuh pecitraan.
Hal seperti itu berlangsung lama, puluhan awak media bergantian merayu
Auri agar dapat meliput keseharian dokter cantik itu secara langsung. Tapi Auri tetap
saja tidak mau. Namun lama kelamaan Auri menjadi gerah, karena silih berganti
wartwan terus berupaya merayunya. Dengan berat hati dia menerima, dan meminta
awak media mengatur jadwal untuk diadakan konfrensi pers.
Siang itu dibalai kampung, seluruh awak media sudah berkumpul. Puluhan
sorot kamera stand bay siap merekam tiap kalimat yang akan dilontarkan Auri.
Ruangan itu dipenuhi warga yang ingin mengetahui kisah wanita berfaras anggun itu.
Konfrensi pers dimulai, salah seorang wartwan mengajukan pertanyaan. “Apa yang mendasari Mbak Auri ingin menjadi seorang dokter” Tanya salah
seorang wartawan
Auri mendekati bibirnya ke microfon, sambil menghela nafas lalu dia
menjawab pertanyaan dari wartwan tersebut. Waktu itu Saya masih berumur 16 tahun, tepatnya masih duduk dibangku
kelas 2 SMA. Saat itu Saya sedang berada dititik terendah dalam penderitaan, Saya
anak satu-satunya, ayah meninggal saat Saya berumur 2 tahun. Umur 15 tahun ibu
jatuh sakit, kata dokter ibu terkena penyakit Sirosis Hepatis yang mengaruskannya
untuk tidak bekerja. Saat itu mata pencarian keluarga hanya bergantung dengan Saya.
Hasil dari jajakan kue yang Saya ambil dari tetangga sebagian untuk berobat ibu,
sisanya untuk keperluan sehari-hari.

Selama setahun sudah ibu bertahan melawan penyakit, puncaknya saat itu hari
juma’at malam, ibu mendadak tidak sadarkan diri, hidungnya mengeluarkan darah
dan wajahnya pucat pasi. Tidak ada pilihan lain, mau tidak mau Saya harus pergi
kerumah sakit. Sengaja ibu Saya tinggalkan, karena malam itu hujan sangat lebat,
petir menyambar-nyambar. Tanpa menghiraukan rasa takut, Saya berjalan menyusuri
hutan sepi dan gelap. Yang terlintas dalam benak Saya, bagaimana ibu harus segera
mendapatkan penangan segera. Sayang beribu sayang, perjuangaan Saya untuk bisa sampai dirumah sakit, sama sekali tidak dihiraukan. Mereka menolak mentah-mentah keluahan Saya. Alasan
mereka saat itu, semua dokter tidak dapat meninggalkan rumah sakit karena sedang
banyak pasien. Saya merengek untuk bisa ditolong, tetap saja alasan yang sama
dilontarkan kepada Saya. Akhirnya saya pulang dengan penuh rasa kecewa,
Sekembalinya dirumah, ibu sudah tergeletak diatas ranjang kamar dengan
selembar kertas ditangannya. Dan itulah kali terakhir Saya dapat memeluk tubuh ibu.
Saya dekap erat tubuh kaku itu sambil menangis berharap ibu bisa hidup kembali.
Selembar kertas itu tertulis. Nak Maaf ya..
Ibu tidak bisa lagi menemani hari-harimu,
Maafkan ibu, saat ini ibu harus pergi jauh. Jaga diri ya sayang, kamu pasti kuat menjalani hari-hari tanpa ibu.
Nak.. hanya satu pesan ibu.
Jika suatu hari nanti kamu sukses, jadilah orang yang bermanfaat buat orang lain.
Tebarkan kebaikan kesemua orang, jangan pandang siapa dia, entah itu kaya atau
miskin, pejabat atau rakyat, bantulah dia karena dia membutuhkan. Nak jika kau membantu orang lain
jangan sekali-kali kau mengharapkan pujian, Tapi bantulah mereka dengan ikhlas
Bayangkan, kalau dulu kau juga pernah ada diposisi mereka
Semoga Allah selalu menjagamu.

Hadirin, apa yang Saya lakukan saat ini adalah wasiat dari ibu. Dulu Saya
tidak punya harapan buat hidup, tapi sekarang Saya ingin menghidupkan kembali
harapan banyak orang. Dulu saya pernah berada dititik terendah dalam penderitaan, sekarang Saya tidak ingin melihat semua orang berada diposisi itu.
Dulu saya pernah dikecewakan tenaga medis, mereka tidak hiraukan
rengekan saya. Padahal saat itu ibu tengah berjuang untuk hidup, sayangnya tidak ada
satupun dokter yang bersedia datang mengobati. Akhirnya ibu meninggal, semenjak
itu lah saya bertekad akan menjadi seorang dokter. Sebab saya tidak ingin lagi
melihat satu manusiapun, merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan waktu
itu. Mendengar kisah pelik Auri, semua orang yang berada diruangan itu
menangis tersedu-sedu. Air mata tidak hentinya mengaliri pipi mereka. Suasana
ruangan menjadi hening, yang terdengar hanya isak tangis semua orang.
Auri memberi warna baru dikampung itu, karena kesetian dan ketulusannya,
Pemerintah setempat membangun ruman sakit dikampung tersebut. Dan Auri
ditunjuk langsung menjadi Direktur utama. Setahun kemudian Auri menikah dengan
seorang lelaki yang berasal dari Ibukota. Keluarga merekapun bahagia.
Sekian & Terima kasih

Komentar